MOJOKERTO, JURNALDETIK.COM– Sejak dua tahun terakhir kalangan petani dibuat kelimpungan oleh kelangkaan pupuk. Tak hanya pupuk bersubsidi, pupuk non subsidi jenis Urea, Phoska dan ZA kerap menghilang dari pasaran. Mafia disebut-sebut sebagai penyebabnya. Benarkah demikian?
Persoalan kelangkaan pupuk ini diutarakan sejumlah petani di Dusun Kedawung, Desa Bicak, Kecamatan Trowulan dalam acara Penyerapan Aspirasi Masyarakat, Reses I tahun 2022, Dapil 10 Jombang, Kota dan Kabupaten Mojokerto yang digelar H Hidayat anggota DPRD Provinsi Jawa Timur, Senin (07/02/2022).
“Sejak tahun 2020, kami terpaksa membeli pupuk non subsidi ke distributor untuk mencukupi kebutuhan tanaman kami. Sebab pupuk bersubsidi sering habis, belum lagi kami hanya dijatah 15 kg untuk pembelian,” keluh Ustad Zainuri, petani asal Kedawung dalam reses.
Menurut Zainuri, jatah 15 kg itu jauh dari kata cukup. Untuk memenuhi kebutuhan pupuk urea, phonska dan za untuk satu kali tanam mencapai sekitar 70 kg. “Sekali tanam 70 kg untuk lahan seluas 100 boto (per 1.400 m2). Kalau hanya diberi 15 kg itu hanya cukup untuk pembenihan,” keluhnya.
Petani, lanjutnya, juga harus melalui proses administrasi yang ribet untuk mendapatkan pupuk bersubsidi. “Gitu harus pakai KTP, KK dan macam-macam administrasi,” imbuhnya.
Untuk memenuhi kebutuhan petani mengaku terpaksa beli pupuk non subsidi meski harganya selangit. Harga pupuk non subsidi yang harus mereka tebus seharga Rp 350 ribu per 25 kg. Sedangkan harga pupuk subsidi hanya Rp 120 ribu per 25 kg.
Derita petani tak hanya sebatas itu. Pupuk non subsidi sering menghilang dari pasaran. Untuk mendapatkan pupuk mereka harus membeli di Jombang yang jaraknya relatif jauh yakni sekitar 30 km.
“Kadang kalau waktunya tanam, pupuk tidak ada. Akhirnya cari sampai cari ke Jombang. Mahal ya ditabrak saja,” papar Zainuri.
Ia mengungkapkan, tingginya biaya produksi itu tidak sebanding dengan rendahnya harga gabah. “Padahal sering-sering panen harga beras turun,” tuturnya.
Sejumlah warga lainnya juga berharap agar wakil rakyat dari Gerindra tersebut mengupayakan perbaikan jembatan Sungai Kotok. Jembatan yang menjadi lalu lintas ekonomi penghubung antardesa tersebut dinilai tak layak lantaran hanya bisa dilalui sepeda motor dan pejalan kaki. Mereka berharap jembatan tersebut dibangun sehingga bisa dilalui kendaraan roda empat yang menjadi akses jalur pertanian.
Menanggapi hal tersebut, Hidayat anggota DPRD Provinsi Jawa Timur tak menampik kelangkaan pupuk yang terjadi sejak dua tahun belakangan. “Sejak tahun 2021 pupuk jadi masalah. Ini karena pandemi, APBN nya mengalami penurunan dan fokusnya pada kesehatan. Sehingga subsidi pupuk dikurangi. Dana subsidi pupuk Rp 17 triliun tahun 2021 turun 6 triliun jadi Rp 11 triliun,” tuturnya.
Ironisnya, katanya, terbatasnya stok pupuk terjadi karena ada pihak yang main-main. “Banyak yang ditangkap polisi. Banyak agen yang menyodorkan data tak benar. Orang meninggal dimasukkan. Keuntungan mafia ini mencapai miliaran. Mereka terkoordinir rapi yang sulit dilihat orang awam,” urainya.
Karenanya, Hidayat mengatakan jika kasus pupuk ini menjadi tugas aparat kepolisian untuk mengawal mereka sampai ketangan petani. “Solusinya sementara ayo gunakan pupuk organik. Sambil berharap pandemi berakhir sehingga pupuk normal kembali,” pungkasnya.(ywd)

















