MOJOKERTO,JURNALDETIK.COM– Pengadilan Agama (PA) Mojokerto menggelar Pemeriksaan Setempat (PS) di kediaman Kepala Desa (Kades) Modopuro, Kecamatan Mojosari, Imron Wahyudi, pada Jumat (12/9/2025). Pemeriksaan ini dilakukan terkait gugatan harta bersama atau gono-gini yang diajukan mantan istrinya, Ita Purtikasari.
Kuasa hukum Ita, H. Nurkosim, S.H., M.H., dari Law Firm Nur & Partners, menyatakan bahwa gugatan tersebut dilayangkan karena selama hampir sembilan tahun pernikahan, kliennya bersama Imron telah mengumpulkan sejumlah aset, namun belum ada pembagian meski keduanya resmi bercerai sejak Februari 2025.
“Perkawinan antara klien kami dan tergugat telah putus dengan putusan cerai PA Mojokerto. Namun harta bersama yang diperoleh selama pernikahan belum pernah dibagi. Karena itu, kami ajukan gugatan ini,” jelas Nurkosim.
Dalam berkas gugatan, Ita mencantumkan beberapa aset yang dianggap sebagai harta bersama, di antaranya:
Tanah dan rumah di Desa Modopuro, Kecamatan Mojosari seluas 699 meter persegi dengan Sertifikat Hak Milik No. 01387.
Satu unit sepeda motor Honda Scoopy tahun 2019 senilai Rp15 juta.
Satu unit mobil Honda CRV tahun 2008 berwarna hitam dengan nilai taksiran Rp117 juta.
Perlengkapan rumah tangga dan elektronik, mulai kulkas dua pintu, kompor tanam, meja makan jati, televisi, AC, hingga laptop.
Selain aset, Ita juga memasukkan dua utang dalam daftar harta bersama, yakni pinjaman di KSPPS BMT Al-Izzah sebesar Rp100 juta serta kredit di Bank BNI Syariah sebesar Rp163 juta untuk menebus rumah yang ditempati sebelum perceraian.
Nurkosim menegaskan, pihaknya telah berupaya menyelesaikan perkara ini secara kekeluargaan, namun tidak mendapat tanggapan dari pihak tergugat. “Klien kami sudah beberapa kali mengajak tergugat untuk membicarakan pembagian harta, tapi tidak pernah dihiraukan. Karena itu langkah hukum ini terpaksa ditempuh,” tegasnya.
Dalam petitumnya, Ita meminta majelis hakim menyatakan seluruh aset dan utang tersebut sebagai harta bersama sesuai Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta membaginya secara adil. Ia juga menuntut agar tergugat dikenai uang paksa (dwangsom) Rp2 juta per hari bila lalai melaksanakan putusan.
Sementara itu, kuasa hukum Imron Wahyudi, Lestiono, S.H., dan Senedi, S.H., menilai tidak semua objek yang digugat merupakan harta bersama. “Ada aset yang dimasukkan ke dalam gugatan, padahal itu bukan milik mereka, melainkan mobil anak klien kami dari istri sebelumnya yang hanya dipinjamkan kepada ayahnya,” jelas Lestiono.
Meski demikian, pihak tergugat mengaku tetap membuka ruang dialog. “Kami tidak menutup pintu perdamaian. Karena perkara ini sudah masuk gugatan harta bersama, kami tetap membuka peluang penyelesaian secara kekeluargaan,” pungkasnya.(Kar)

















