Berita  

Dugaan Ijazah Palsu Anggota DPRD Kediri Dilaporkan ke Polda Jatim

SURABAYA,JURNALDETIK.COM – Laporan resmi terkait dugaan penggunaan ijazah palsu oleh salah satu anggota DPRD Kabupaten Kediri berinisial A kini telah diterima Polda Jawa Timur. Laporan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1), Wiwit Hariyono, usai melakukan verifikasi mendalam dan mengantongi sejumlah bukti yang dinilai kuat.

Wiwit menjelaskan, dugaan pemalsuan itu terungkap setelah timnya menelusuri dokumen administrasi pencalonan anggota legislatif di KPU Kabupaten Kediri. Dari hasil penelusuran itu, muncul indikasi bahwa ijazah setingkat SMA yang digunakan A dalam proses pencalonan diduga tidak sah.

“Kami menemukan banyak kejanggalan pada dokumen tersebut, mulai dari struktur penulisan, legalisasi, hingga identitas lembaga pendidikan yang mengeluarkannya,” terang Wiwit saat memberikan keterangan usai melapor di Mapolda Jatim, Rabu (8/10).

Ia menguraikan, kejanggalan paling menonjol terlihat pada bagian kepala ijazah yang tertulis “STTB Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA)”, sementara di kolom keterangan justru tertulis lulusan “Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Jaya Sakti Surabaya”.

“Perbedaan ini bukan hal kecil. Secara nomenklatur lembaga, itu jelas berbeda dan bisa berdampak pada keabsahan dokumen yang digunakan untuk pencalonan,” tegasnya.

Wiwit juga menemukan ketidaksesuaian tahun penerbitan dengan identitas sekolah. Ijazah tersebut tertulis diterbitkan pada 1993, namun cap stempel sekolah sudah mencantumkan Nomor Pokok Sekolah Nasional (NPSN) — sistem yang baru diberlakukan setelah tahun 2009 berdasarkan keputusan Balitbang Depdiknas Nomor 3574/G.G4/KL/2009.

“Tahun 1993 belum ada istilah NPSN. Saat itu masih menggunakan NSS (Nomor Statistik Sekolah). Ini menunjukkan adanya ketidakwajaran administratif,” ujarnya.

Kecurigaan kian menguat karena pada bagian legalisasi ijazah tidak tercantum tanggal, tahun, maupun nama pejabat penanggung jawab. Selain itu, stempel yang digunakan juga dinilai tidak sesuai dengan format resmi sekolah pada masa itu.

Dari hasil penelusuran, diketahui SMEA Jaya Sakti Surabaya sudah berhenti beroperasi sejak 2014 setelah bergabung dengan SMA Mardi Siswi karena kekurangan murid.

“Kalau sekolahnya sudah tidak aktif secara hukum, bagaimana bisa melakukan legalisasi dokumen di tahun-tahun setelahnya?” tanya Wiwit.

Ia menegaskan, laporan ini berpotensi masuk ranah pidana murni, karena melibatkan dugaan penggunaan dokumen palsu dalam proses resmi pencalonan anggota DPRD.
Adapun pasal-pasal yang berpotensi dikenakan antara lain:

Pasal 263 KUHP, tentang pemalsuan surat dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara.

Pasal 264 KUHP, yang memperberat hukuman bila pemalsuan dilakukan terhadap akta otentik.

Pasal 520 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda hingga Rp72 juta bagi calon legislatif yang menggunakan dokumen palsu.

“Ini bukan lagi sekadar persoalan etik, tetapi sudah menyangkut integritas lembaga legislatif di Kabupaten Kediri,” tambahnya.

Sebelum melapor ke Polda Jatim, Wiwit terlebih dahulu mengirim surat resmi ke KPU Kabupaten Kediri untuk meminta klarifikasi mengenai keabsahan ijazah tersebut. Surat jawaban KPU bernomor 148/HM.03.2-SD/3506/2025 yang diterima Wiwit pada 23 September 2025, menurutnya, belum menjawab substansi persoalan.

“KPU hanya menyebut bahwa dokumen dinilai lengkap secara administrasi, tanpa menjelaskan keabsahan ijazah secara materiil,” kata Wiwit.

Tidak puas dengan jawaban itu, pihak FKI-1 kembali mengirimkan surat klarifikasi lanjutan ke KPU Kabupaten Kediri serta surat resmi ke DPC PDIP Kediri pada 24 September 2025. Hingga kini, belum ada tanggapan dari kedua lembaga tersebut.

Kasus ini muncul di tengah kebijakan baru KPU RI yang mencabut Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 tentang pembatasan akses dokumen publik. Dengan demikian, dokumen pendidikan para calon pejabat kini dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat.

“Transparansi itu penting. Masyarakat berhak mengetahui keaslian dokumen para wakil rakyatnya,” tandas Wiwit.

Ia menilai, kasus ini memperlihatkan masih lemahnya mekanisme verifikasi substansial dalam proses administrasi pencalonan legislatif. KPU dinilai hanya fokus pada kelengkapan dokumen, bukan pada keabsahan isinya.

“Kalau demokrasi hanya berhenti di tahap administratif, maka nilai kejujuran dan moralitas publik akan terus terabaikan,” pungkasnya.(Lief/Red)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *