Berita  

Anggota DPRD Mojokerto Ramai-Ramai Jadi Narasumber di OPD, Mendapat Sorotan Dinilai Langgar Prosedur dan Pemborosan Anggaran

MOJOKERTO, JURNALDETIK.COM – Praktik anggota DPRD Kabupaten Mojokerto yang kerap tampil sebagai narasumber dalam kegiatan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan kantor kecamatan di Mojokerto menuai sorotan. Publik menilai tren tersebut bukan hanya menyalahi prosedur, tetapi juga diduga menjadi modus baru penyedotan uang rakyat di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang sedang dijalankan pemerintah.

Sejumlah kegiatan sosialisasi, bimtek, hingga forum koordinasi di berbagai OPD dan kecamatan disebut melibatkan anggota dewan sebagai pemateri, termasuk dalam materi Wawasan Kebangsaan dan program Peningkatan UMKM. Para anggota dewan yang hadir diberi honorarium dari APBD.

Padahal, menurut ormas Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1), posisi anggota DPRD tidak semestinya berada dalam struktur kegiatan eksekutif, apalagi dengan imbalan uang negara.

“DPRD itu lembaga pengawas, bukan pelaksana kegiatan OPD. Ketika mereka menjadi narasumber dan menerima honor, di situ ada konflik kepentingan. Ini menabrak etika dan aturan perundang-undangan,” ujar Wiwid Haryono, Ketua ormas FKI-1 DPD Mojokerto.

Ia menambahkan, praktik ini bisa dikategorikan sebagai pemborosan anggaran, terlebih saat pemerintah pusat dan daerah tengah menerapkan efisiensi belanja. “Sementara rakyat disuruh maklum karena anggaran dipangkas, justru ada celah baru untuk mengalirkan dana ke kantong pejabat,” kritiknya.

Ironisnya, sejumlah acara yang melibatkan anggota DPRD bahkan tidak memiliki urgensi teknis, namun tetap dibebankan ke anggaran OPD. Nominal honor yang diterima pun disebut bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah per kegiatan.

“Kalau mereka berbicara di forum publik sebagai wakil rakyat tanpa honor, itu bagian dari fungsi representasi. Tapi kalau terima bayaran dari OPD, jelas patut dipertanyakan,” ungkap Wiwid.

Wiwid juga menilai tren anggota dewan tampil sebagai narasumber berbayar, terutama pada materi Wawasan Kebangsaan dan Peningkatan UMKM, merupakan bentuk penyimpangan peran lembaga legislatif.

“Ini modus baru penyedotan dana publik secara halus. Mereka seharusnya mengawasi penggunaan anggaran, bukan ikut menikmati honor dari OPD,” tegas Wiwid Hariono, Selasa (14/10/2025).

Ia bahkan menekankan, “Bahwa sesungguhnya justru para anggota dewan itu yang perlu diberi pemantapan materi Wawasan Kebangsaan, bukan sebaliknya.”

Ia juga menyoroti bahwa kegiatan yang melibatkan anggota dewan kerap tidak berkaitan langsung dengan kompetensi teknis mereka, namun tetap dimasukkan dalam struktur anggaran. Fenomena ini berpotensi melanggar sejumlah ketentuan, mulai dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah hingga kode etik DPRD. Kegiatan yang menggunakan anggaran negara harus memenuhi unsur kebutuhan, kompetensi, dan tidak boleh menimbulkan konflik kepentingan.

“Ketika anggota dewan masuk dalam struktur kegiatan OPD dan menerima honor, itu menimbulkan benturan kepentingan. Apalagi fungsi dewan adalah budgeting, legislasi, dan pengawasan,” ujarnya.

Ia menegaskan, praktik seperti ini bisa dijerat etik, bahkan pidana jika ditemukan unsur penyalahgunaan kewenangan atau kerugian negara.

Wiwid mendesak BPK, Inspektorat, dan aparat penegak hukum melakukan penelusuran. Apalagi, tren ini disebut terus meningkat dalam beberapa bulan terakhir, seolah menjadi skema baru penyerapan anggaran personal.

“Jangan sampai efisiensi anggaran hanya jargon. Sementara uang rakyat tetap mengalir lewat cara-cara halus. DPRD harus memberikan contoh, bukan justru memanfaatkan celah,” pungkas Wiwid.(Kar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *